Penyakit berupa kerusakan jaringan akibat respon imun terhadap self-antigen (jaringan tubuh sendiri yang diidentifikasi sebagai benda asing), menimbulkan kumpulan gejala dan kelainan yang kompleks. Gejalanya bervariasi dan seringkali tumpang tindih karena dapat mengenai berbagai organ spt darah, ginjal, kelenjar getah bening, tiroid dan sistim saraf pusat. Pada anak gejalanya tidak khas bisa menyerupai penyakit umum lainnya.
Saat sekarang ditemukan lebih dari 80 jenis penyakit autoimun, pada anak yang sering ditemukan anatar lain: DM tipe 1, celiac disease, lupus eritematosus sistemik, dermatomiosistis juvenil, skleroderma, juvenile idiopathic arthritis (JIA) dan graves disease. Di Indonesia ada 3 penyakit autoimun yang paling banyak dijumpai kasusnya: LES, penyakit Henoch Schonlein Purpura dan Juvenile idiopathic arthritis.
Bagaimana gejala penyakit autoimun tersebut pada anak?
Gejala umum sulit untuk dikenali karena samar dan tidak spesifik serta seringkali tumpang tindih dengan gejala penyakit lain. Gejala penyakit tergantung pada proses perjalanan penyakit yang mendasarinya, jadi dapat berupa gejala umum (sistemik) atau spesifik terhadap organ yang terkena. Meski begitu, ada beberapa gejala yang bila ditemukan, dipikirkan kemungkinan penyakit autoimun. Gejala umum tsb dapat timbul lebih dulu, dicurigai penyakit autoimun bila tidak terdapat penyebab lain yang jelas. Gejala sistemik tsb antara lain : kelelahan (fatigue), pusing, ruam, penurunan berat badan, demam, nyeri sendi dan mulut/mata kering.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Seringkali disebut penyakit ‘seribu wajah’ karena banyaknya organ yang terlibat dan gejala yang bervariasi. Penyakit berlangsung kronis ditandai dengan fase remisi (‘tenang’) atau relaps (kambuh).Gejala umum : demam, penurunan berat badan, kelelahan (fatigue), anoreksia dan nyeri sendi. Gejala-gejala tersebut disertai inflamasi yang menyebar luas seperti: pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) dan pembesaran hepar dan lien (hepatosplenomegali) yang terjadi pada waktu onset (serangan) dan saat penyakit kembuh (flare). Gejala paling khas (hallmark) adalah ruam pada pipi/wajah, tidak gatal, ruam pada pipi dan telinga melewati hidung, berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly rash). Gejala khas ini dijumpai pada 60% sd 85% anak dengan LES. Pada sepertiga anak ruam ini fotosensitif (ruam mudah tercetus karena paparan matahari). Tapi anak atau remaja LES dapat juga mengalami ruam-ruam seluruh tubuh menyebar di berapa tempat sehingga sulit dikenali sebagai LSE.
Kelainan kulit yang lain adalah allopesia : kerontokan atau penipisan rambut di daerah temporal kulit kepala. Gejala klinis lain LES berupa gejala pada beberapa organ spt : mukokutan (sariawan), muskuloskletal, nefritis (ginjal), neuropsikiatris, paru (efusi pleura, perdarahan paru) , sistem saluran cerna (perdarahan, perforasi usus dan luka pada usus yang berdarah), mata, hati/limfa/kelenjar (hepatoslenomegali dan limfadenopati), hematologik (anemia), kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) dan pulmonal (paru).
Menurut registri LES di Indonesia ditemukan beberapa gejala yang sering didapat antara lain : demam, ruam, pucat, bengkak, nyeri sendi, sesak nafas, kejang, nyeri peruit dan buang air kecil berdarah.
Henoch Schonlein Purpura
HSP merupakan reaksi peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis), mengenai pempuluh darah kecil di kulit, persendian, saluran cerna dan ginjal.Gejala HSP pada anak sering terjadi pada usia 4-7 tahun, didahului infeksi saluran nafas yang berlanjut peradangan pada sendi (sendi bengkak, merah, hangat dan nyeri), diikuti oleh ruam merah keunguan yang memimbul pada beberapa tempat spt bokong dan kaki yang bersifat simetri dan tidak gatal. Kelainan kulit dapat berlangsung beberapa minggu dan menghilang tapi dapat timbul kembali (rekuren). Selain gejala di kulit, dapat timbul gejala nyeri sendi (arthalgia) pada anggota bawah seperti pada lutut dan pergelanagan kaki. Anak dapat juga sakit perut yang hebat (kolik) akibat vaskulitis (peradangan pada pembuluh darah) di saluran cerna. Selain itu dapat juga terjadi intusepsi dn perforasi usus. Gejala pada ginjal dapat dijumpai gejala bengkak, hematuria (kencing bercampur darah) dan protein pada urin (proteinuria).
Juvenile Idiopathic Arthritis
Pada awal sakit dijumpai fatigue dan anemia. Demam lama dapat terjadi pada JIA sistemik, demam sampai 39 C diikuti penurunan suhu hingga normal. Gejala ruam timbul waktu demam, tidak gatal dan paling sering terjadi pada batang tubuh dan anggota gerak atas, termasuk area ketiak dan lipat paha.Gejala umum lain yang sering dijumpai adalah penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, gejala saluran cerna dan gagal tumbuh.
Sendi yang terkena teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritema (kemerahan). Sendi yang bengkak sewaktu pemeriksaan klinis didapati gerakan sendi yang terbatas, nyeri/sakit waktu sendi digerakkan dan panas ketika diraba. Pada anak yang lebih kecil sering didapati kaku sendi pada waktu pagi hari. Umumnya sendi yang terkena lebih dari satu, bila lebih dari 4 disebut sebagai poliartritis, bila yang terkena 4 sendi atau kurang disebut sebagai oligoartritis.
Diluar keterlibatan sendi didapat pembesaran hati dan lien (hepatosplenomegali) dan kelainan pada paru (fibrosis intertisiall dan serositis). Demam dan gejala sistemik sering mengawali gejala arthritis (radang pada persendian) sehingga diagnosis tidak mudah dikenali pada awal penyakit).
Masalah apa yang sering terjadi pada diagnosis dan penanganan penyakit autoimun di Indonesia?
Mengingat gambaran penyakit autoimun yang tidak spesifik dan menyerupai penyakit lain, sering terjadi keterlambatan diagnosis. Selain itu kewaspadaan terhadap penyakit ini masih dirasa rendah baik di kalangan klinis dan masyarakat. Pemeriksaan laboratorium imunologi khusus untuk penyakit autoimun (seperti pemeriksaan antibodi-antinuclear atau ANA, Anti-dsDNA dan autoantibodi lainnya) tidak selalu tersedia di pusat pelayanan kesehatan yang ada. Selain masalah deteksi dini dan diagnosis penyakit, pada penyakit autoimunnya sering mendapati kendala dalam tatalaksananya karena obat-obatnya mahal dan sulit didapat. Dokter konsultan alergi imunologi di Indonesia juga masih kurang dan belum menyebar merata.
Apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit autoimun ini?
Caranya adalah melalui edukasi (kampanye) kepada masyarakat umum dan dokter-dokter di lapangan. Untuk masyarakat pembentukan kelompok persatuan penyandang penyakit autoimun dapat dimanfaatkan sebagai upaya melakukan kampanye dan pemberian edukasi klinis. Di Indonesia sudah ada komunitas-komunitas tersebut antara lain: Perhimpuan Rheumatologi Indonesia, Syamsi Dhuha Foundation dan Yayasan Lupus Indonesia.
Kegiatan kampanye untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit autoimun telah dilakukan, misalnya di AS bulan Maret sebagai Autoimmune Diseases Awareness Month. Selain itu pada tanggal 12 Mei dirayakan sebagai hari Lupus Sedunia Di Indonesia, komunitas Lupus yang tergabung dalam SDF menetapkan bulan Mei sebagai bulan peduli Lupus. Selama bulan Mei dilakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan penyakit Lupus ini spt walk for lupus, pementasan seni, pemeriksaan dan konsultasi dengan para pakar, talk show, seminar awam dan sosialisasi penyakit lupus di sekolah-sekolah.
Disarikan dari bahan bacaan sebagai berikut:
1. Buku ajar Alergi imunologi anak Edisi ke 2, IDAI, 2010.
2. Makalah presentasi ilmiah Dr Budi Setiabuiawan SpA(K) dkk di PIT 7, 3 November 2015 di Surabaya, “Rising awareness of autoimmune disease in children”
[Disadur dari artikel "Mengenal Beberapa Penyakit Autoimun Pada Anak" ditulis oleh dr. Mohammad Muchlis]
No comments:
Post a Comment