"Sebentar, dari tadi kok ngomong JKN terus sih, kita ini diskusi soal BPJS, jangan ngomong yang lain-lain".... Saya jadi kaget dan balik bertanya "lha memang kenapa, ya kita ini diskusi tentang JKN". Teman diskusi balik bertanya, "lho, memang ada hubungannya BPJS dengan JKN"...
Waduh!
Kebingungan itu sungguh wajar pada awalnya dulu. Semua masih serba meraba-raba. Terpaksalah kemudian kami diskusikan lagi tentang desain JKN berbasis Managed Care. Sebenarnyalah ada segitiga sama sisi di bidang datar. Masing-masing sudutnya ada Peserta (Masyarakat) sebagai pengguna layanan, ada Nakes dan Faskes sebagai pemberi layanan, serta ada BPJS Kesehatan sebagai pengelola keuangan (gambar 1).
gambar 1: desain jaminan kesehatan nasional |
Dalam konsep itu, bila dari masing-masing sudut itu ditarik garis lurus ke atas, kemudian disatukan ujungnya, maka akan terbentuk Limas Segitiga. Di puncak limas itulah duduk pemerintah sebagai regulator dan pengayom bagi semua pihak. Dengan kondisi itu, diharapkan ada check-and-balances diantara ketiga pihak. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
Dari sisi pasien, kondisi tersebut juga positif karena menjadikannya punya "daya tawar" dalam relasi pelayanan kesehatan. Dulu sering kita dengar ungkapan "orang miskin dilarang sakit". Juga "apapun kata dokter, kita bisa apa, ya harus manut saja". Dengan konsep mitra-sejajar itu diharapkan menempatkan semua pihak pada tempatnya.
Begitupun, kebingungan itu tidak juga sepenuhnya salah. Sejak awal, kita memang mendapat arus kuat informasi "BPJS" secara lebih dominan daripada JKN. Begitu juga dalam perjalanan JKN selanjutnya, BPJS Kesehatan lebih banyak berperan dan menerbitkan kebijakan. Akibatnya, makin mengaburkan informasi bagi yang belum paham soal apa itu JKN, dan apa itu BPJS Kesehatan.
Di sisi lain, peran dan kebijakan BPJS Kesehatan itu juga bukan tanpa dasar (gambar 2). Pasal 40 ayat (3) UU SJSN nomor 40/2004 menyatakan:
(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan,kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
gambar 2: pemangku kepentingan dalam pelaksanaan jkn |
Jadi memang ada penugasan, dan berarti juga ada kewenangan, bagi BPJS Kesehatan untuk menerbitkan serangkaian aturan guna melaksanakan tugas tersebut.
Selanjutnya dirinci dalam UU BPJS nomor 24/2011, tentang fungsi dan tugas BPJS Kesehatan (gambar 3). Pasal 6 menyatakan:
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalamPasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakanprogram jaminan kesehatan.
gambar 3: fungsi dan tugas bpjs kesehatan |
Dalam banyak pasal-pasal di regulasi JKN dari PP, Perpres sampai Permenkes, juga ditutup dengan kalimat lebih kurang sebagai berikut:
"... lebih lanjut diatur dengan Peraturan BPJS".
Jadilah kemudian memang BPJS Kesehatan menerbitkan beberapa kebijakan. Satu sisi, itu membuat kita sering mengritik keras. Minimal, kita merasa kurang nyaman. Di sisil lain, sering juga dengan mudah menudingkan banyak hal yang kurang nyaman sebagai "salahnya BPJS". Antrian panjang di RS, pilihan obat, sistem rujukan, semua mudah kita alamatkan sebagai "gara-gara BPJS".
Itulah kondisi sepertinya membuat sampai sudah berjalan 1,5 tahun pun, kebingungan dan salah kaprah itu masih terus berkembang. Tinggal kita sekarang bertanya pada diri sendiri, masihkah kita akan terus berada pada kesalah kaprahan, ataukah kita mau berusaha mencari tahu, agar menjadi lebih tepat memahami, sekaligus lebih tajam mengritik BPJS Kesehatan.
JKN sudah terbukti bermanfaat bagi masyarakat. JKN juga ternyata masih banyak menghadapi masalah. Karena itu, mari kita kawal JKN dengan semangat gotong royong, saling peduli, sekaligus saling memahami.
Semata karena with greater power, comes greater responsibility.
Mari kawal JKN!
[Disadur dari catatan FB dr. Tonang Dwi Ardyanto, berjudul "Apa sih bedanya BPJS sama JKN?"]
No comments:
Post a Comment